Minggu, 16 September 2012

Tentang Pertobatan


Kesadaran semu menghasilkan pertobatan palsu.
Dalam pertobatan palsu tidak ada pengampunan.
Tanpa pengampunan seseorang tetap tinggal di dalam dosanya.
Dan dosa membuat kita kehilangan kepekaan rohani akan Allah.
Dosa adalah penghalang kita untuk bisa mendengar suara Tuhan.
--Yeremia 5 : 25


 

Kamis, 13 September 2012

I Never Have To "Fly Solo"



Kamu bilang Kelinci, padahal Elang. Kupikir Elang, padahal Kura-kura.
Elang dan Kura-kura tidak bisa berpasangan, sebab mereka berbeda.


Elang terduduk lemas dan kelu di balik batu cadas perlindungannya, menarik napas dalam-dalam. Perlahan mencoba merenungi semuanya. Agak gamang, namun rasionya bekerja menenangkan batinnya yang bergejolak. Iman rapuhnya mencoba meyakinkannya bahwa Tuhan sudah menentukan yang terbaik untuknya. Tuhan, tidak mungkin salah. Tuhan tidak punya rencana alternatif bagi hidupnya. Maka kenyataan hari ini harus bersedia ditanggungnya.

Ya, Elang baru saja menerima sebuah bingkisan kado yang selama ini ditunggu dari si Kura-kura: sebuah KEPUTUSAN. Akhirnya, Kura-kura memutuskan tidak ingin terbang bersama Elang dan mau berusaha kembali pada Bebek.

Elang menghela nafas panjang, merasa maklum sebab selama ini Elang tahu kalau Kura-kura lebih senang bermain dengan Bebek. Meski sejak awal pendekatan dengan Elang, si Kura-kura mengaku sudah tidak berteman lagi secara intens dengan si Bebek, tapi kenyataannya sulit bagi Kura-kura untuk jauh apalagi memutuskan komunikasi dengan si Bebek.

Hal inilah yang membuat Elang meragukan cinta si Kura-kura. Benarkah si Kura-kura sungguh-sungguh mencintai Elang? Pernyataan cinta, perlakuan baik, perhatian tulus, ikatan perasaan, kejujuran yang naif hingga sebuah lamaran untuk sehidup semati? Maka Elang pun memulai pencarian bukti atas hal itu; semua statement, segala sikap dan tindakan… segala hal yang (anehnya) malah membuat Elang merasa tidak dicintai oleh si Kura-kura. Namun di lubuk hatinya, Elang punya keyakinan. Tapi keyakinan bisa salah sebab Elang bukan mahkluk sempurna. Maka, keyakinan ini harus di compare dengan sebuah keputusan si Kura-kura, sebab si Kura-kura mendua hati.

Kura-kura Dan Bebek

Telah lama berbagi rasa berdua, begitu banyak cerita. Bermain air hingga lumpur telah mereka lalui bersama. Begitulah pengakuan si Kura-kura. Terlalu sulit bagi Kura-kura untuk melepaskan kenangan tentang kebiasaan bermain lumpur yang menyenangkan serta segala perbincangan panjang yang memicu adrenalin bersama Bebek. Sementara si Bebek pun, telah sangat lama terbuai dengan sikap Kura-kura yang heroik dalam kehidupannya yang tak pernah putus dirundung malang. Bagi si Bebek, Kura-kura selalu menjadi jawaban atas keluh-kesahnya yang menghiba. Sebaliknya, Bebek bagi Kura-kura, telah menjadi luapan hasrat bermain yang hebat.

Bebek si pintar, hampir sempurna dalam kekuatan dan kelemahannya. Bebek tahu bagaimana memikat dan mengikat hati si Kura-kura. Seolah Bebek mengetahui segala yang dibutuhkan Kura-kura dan selalu bersedia memberikan segalanya untuk Kura-kura. Bebek berpikir dia punya motif kuat untuk begitu. Pertemanan yang tidak memiliki kejelasan dan tak berujung pun dipertahankannya demi cinta yang tidak mampu si Bebek definisikan dengan cara yang benar. Kemalangan, kemarahan, kekecewaan dan nafsu bergantian. Pilihan-pilihan yang nekat, jatuh bangun, pergi dan kembali. Bahkan Tuhan seringkali dipersalahkan sebagai pemberi pencobaan. Apakah Tuhan mencobai ciptaan-Nya? 

Kura-kura, si lemah hati, diam-diam mengeluh tentang pertemanan yang tidak sehat dengan si Bebek akibat kotornya lumpur permainan yang tidak pernah tuntas dibersihkan. Tumbuh menjadi parasit dalam hidupnya dan sandungan dalam usahanya untuk memulai hidup yang bersih. Kura-kura teramat merindukan kehidupan yang baru, namun enggan keluar dari kesenangan bermain dengan si Bebek. Terus larut dalam kubangan lumpur tersebut yang entah disadarinya atau tidak, turut melanggengkan dan memeliharanya.

Lalu, Kura-kura mengundang Elang gunung yang keras hati masuk dalam segitiga setan itu dan membuatnya percaya dan jatuh hati padanya. Namun rasa bersalah dan perasaan iba pada Bebek, sesuatu yang tidak bisa disangkalnya. Inilah buah dari keegoisan si Kura-kura. Akhirnya, drama demi drama bergulir, nyaris lepas kendali. “Harus dihentikan!” demikian tekad si Elang.

Keyakinan Sang Elang

Dari kasih yang salah, hal-hal menjadi lunak. 
Dari pilihan yang mudah, menjadi kelemahan
--bukan itu semangat membangun benteng, 
bukan pula jalan menuju Yang Tersalib--
dari semua yang meredupkan kalvari-Mu, 
oh Domba Anak Allah, lepaskanlah aku.
(Amy Charmichael)

Apakah harga yang pantas untuk sebuah cinta-kasih? Adakah cinta-kasih yang tulus melahirkan ancaman, ketakutan dan perasaan bersalah? Mungkinkah sebuah ketulusan hati melulu memperhitungkan kelemahan dan kekuatan, kelebihan dan kekurangan? Bukankah penyangkalan yang benar, lahir dari cinta-kasih yang benar pula? Bilamanakah kesadaran cinta-kasih menuntun pada koridor yang tepat menuju Yang Tersalib?

Percaya berarti let it be done. Percaya, adalah sebuah kerelaan membiarkan sesuatu terjadi sebagaimana seharusnya, meski terjadi diluar duga-percaya itu sendiri. Percaya berarti menyerahkan keyakinan dibawah otoritas yang dipercaya. Maka yang kita percaya terjadi, tidak harus terjadi sebagaimana kita ingin hal itu terjadi. Sebab, percaya itu tidak pamrih.

Dan Elang belajar percaya. Percaya pada si Kura-kura, si Bebek  dan Tuhan. Percaya bahwa Tuhan bekerja melalui keputusan Kura-kura dan respon si Bebek. Sekejap hari itu, airmata mengalir tak terbendung dibahu sahabat si Elang. Airmata itu masih menetes bisu, saat Elang mengilas balik perjalanan pertemanannya dengan Kura-kura dalam pikirannya. Sebuah drama dengan bayang-bayang gelap. Cinta yang kerap diperbandingkan; kurun waktu dan momen yang selalu diukur, kisah yang singkat dan dangkal, tarik ulur perasaan, gempuran keyakinan, pengorbanan yang tidak pernah senilai, kesempatan yang tersia-sia, kelemahan karakter, jebakan asumsi, cinta setengah hati, komitmen yang rapuh dan akhirnya, sebuah bingkisan hadiah yang tertunda 8 bulan lamanya. Sungguh, sesiap apapun, kenyataan pahit tetaplah menyakitkan, dan hati si Elang pun terluka amat dalam. Seperti disayat-sayat dan teramat perih.

Teringat perkataan Kura-kura yang bilang bahwa ia mengerti perasaan Elang. Tidak. Kura-kura tidak mengerti. Memang benar kata Kura-kura, ini bukan akhir dari dunia si Elang. Tetapi merupakan akhir dari keyakinan si Elang tentang harapan masa depan bersama Kura-kura. Hal ini harus dipilih Elang demi memutuskan segitiga setan yang gelap. Demi mengakhiri membuka "Kotak Pandora Cinta" tak berujung. Demi harapan serta keyakinan baru atas janji yang murni. Elangpun menerima dengan lapang dada keputusan si Kura-kura. Maka segalanya tentang Kura-kura harus diakhiri.

“But you have tobe strong.
Cause you are strong.
It’s not the end of the world.”

Sekali lagi Elang menutup mata, mencoba membersihkan hatinya dan merelakan sesuatu yang berharga baginya itu untuk dilepaskan. Menerima kenyataan bahwa Elang hanya bisa memeluk Kura-kura sebatas angan dan menyapa jiwa Kura-kura dengan doanya.

Elang berterimakasih pada Tuhan untuk pengalaman terbaik, juga untuk segala kenangan; saat-saat yang indah dan pahit bersama Kura-kura meski sangat sedikit dan singkat. Kemudian merangkul semuanya didada, untuk disimpan dalam hatinya. Lalu mulai untuk terbang lagi dengan keyakinan baru yang dipugar ulang. Bagaimanapun juga, Roh Kudus menjamin bahwa Elang tidak sendiri. Maka Elang tidak pernah benar-benar terbang sendirian (1Kor.3:16). ***