Kamu bilang Kelinci, padahal
Elang. Kupikir Elang, padahal Kura-kura.
Elang dan Kura-kura tidak bisa
berpasangan, sebab mereka berbeda.
Elang terduduk lemas dan kelu
di balik batu cadas perlindungannya, menarik napas dalam-dalam. Perlahan
mencoba merenungi semuanya. Agak gamang, namun rasionya bekerja menenangkan
batinnya yang bergejolak. Iman rapuhnya mencoba meyakinkannya bahwa Tuhan sudah
menentukan yang terbaik untuknya. Tuhan, tidak mungkin salah. Tuhan tidak punya
rencana alternatif bagi hidupnya. Maka kenyataan hari ini harus bersedia
ditanggungnya.
Ya, Elang baru saja menerima
sebuah bingkisan kado yang selama ini ditunggu dari si Kura-kura: sebuah
KEPUTUSAN. Akhirnya, Kura-kura memutuskan tidak ingin terbang bersama Elang dan
mau berusaha kembali pada Bebek.
Elang menghela nafas panjang,
merasa maklum sebab selama ini Elang tahu kalau Kura-kura lebih senang bermain
dengan Bebek. Meski sejak awal pendekatan dengan Elang, si Kura-kura mengaku
sudah tidak berteman lagi secara intens dengan si Bebek, tapi kenyataannya
sulit bagi Kura-kura untuk jauh apalagi memutuskan komunikasi dengan si Bebek.
Hal inilah yang membuat Elang
meragukan cinta si Kura-kura. Benarkah si Kura-kura sungguh-sungguh mencintai
Elang? Pernyataan cinta, perlakuan baik, perhatian tulus, ikatan perasaan,
kejujuran yang naif hingga sebuah lamaran untuk sehidup semati? Maka Elang pun memulai
pencarian bukti atas hal itu; semua statement, segala sikap dan tindakan…
segala hal yang (anehnya) malah membuat Elang merasa tidak dicintai oleh
si Kura-kura. Namun di lubuk hatinya, Elang punya keyakinan. Tapi keyakinan bisa
salah sebab Elang bukan mahkluk sempurna. Maka, keyakinan ini harus di compare dengan sebuah keputusan si
Kura-kura, sebab si Kura-kura mendua hati.
Kura-kura Dan Bebek
Telah lama berbagi rasa berdua,
begitu banyak cerita. Bermain air hingga lumpur telah mereka lalui bersama.
Begitulah pengakuan si Kura-kura. Terlalu sulit bagi Kura-kura untuk melepaskan
kenangan tentang kebiasaan bermain lumpur yang menyenangkan serta segala
perbincangan panjang yang memicu adrenalin bersama Bebek. Sementara si Bebek
pun, telah sangat lama terbuai dengan sikap Kura-kura yang heroik dalam
kehidupannya yang tak pernah putus dirundung malang. Bagi si Bebek, Kura-kura
selalu menjadi jawaban atas keluh-kesahnya yang menghiba. Sebaliknya, Bebek
bagi Kura-kura, telah menjadi luapan hasrat bermain yang hebat.
Bebek si pintar, hampir
sempurna dalam kekuatan dan kelemahannya. Bebek tahu bagaimana memikat dan
mengikat hati si Kura-kura. Seolah Bebek mengetahui segala yang dibutuhkan
Kura-kura dan selalu bersedia memberikan segalanya untuk Kura-kura. Bebek
berpikir dia punya motif kuat untuk begitu. Pertemanan yang tidak memiliki
kejelasan dan tak berujung pun dipertahankannya demi cinta yang
tidak mampu si Bebek definisikan dengan cara yang benar. Kemalangan, kemarahan, kekecewaan
dan nafsu bergantian. Pilihan-pilihan yang nekat, jatuh bangun, pergi dan
kembali. Bahkan Tuhan seringkali dipersalahkan sebagai pemberi pencobaan. Apakah Tuhan mencobai ciptaan-Nya?
Kura-kura, si lemah hati, diam-diam mengeluh tentang pertemanan yang tidak sehat dengan si Bebek akibat kotornya lumpur permainan yang tidak pernah tuntas dibersihkan. Tumbuh menjadi parasit dalam hidupnya dan sandungan dalam usahanya untuk memulai hidup yang bersih. Kura-kura teramat merindukan kehidupan yang baru, namun enggan keluar dari kesenangan bermain dengan si Bebek. Terus larut dalam kubangan lumpur tersebut yang entah disadarinya atau tidak, turut melanggengkan dan memeliharanya.
Kura-kura, si lemah hati, diam-diam mengeluh tentang pertemanan yang tidak sehat dengan si Bebek akibat kotornya lumpur permainan yang tidak pernah tuntas dibersihkan. Tumbuh menjadi parasit dalam hidupnya dan sandungan dalam usahanya untuk memulai hidup yang bersih. Kura-kura teramat merindukan kehidupan yang baru, namun enggan keluar dari kesenangan bermain dengan si Bebek. Terus larut dalam kubangan lumpur tersebut yang entah disadarinya atau tidak, turut melanggengkan dan memeliharanya.
Lalu, Kura-kura mengundang
Elang gunung yang keras hati masuk dalam segitiga setan itu dan membuatnya percaya
dan jatuh hati padanya. Namun rasa bersalah dan perasaan iba pada Bebek,
sesuatu yang tidak bisa disangkalnya. Inilah buah dari keegoisan si Kura-kura.
Akhirnya, drama demi drama bergulir, nyaris lepas kendali. “Harus dihentikan!”
demikian tekad si Elang.
Keyakinan Sang Elang
Dari
kasih yang salah, hal-hal menjadi lunak.
Dari
pilihan yang mudah, menjadi kelemahan
--bukan
itu semangat membangun benteng,
bukan
pula jalan menuju Yang Tersalib--
dari
semua yang meredupkan kalvari-Mu,
oh
Domba Anak Allah, lepaskanlah aku.
(Amy
Charmichael)
Apakah harga yang pantas untuk
sebuah cinta-kasih? Adakah cinta-kasih yang tulus melahirkan ancaman, ketakutan
dan perasaan bersalah? Mungkinkah sebuah ketulusan hati melulu memperhitungkan
kelemahan dan kekuatan, kelebihan dan kekurangan? Bukankah penyangkalan yang
benar, lahir dari cinta-kasih yang benar pula? Bilamanakah kesadaran
cinta-kasih menuntun pada koridor yang tepat menuju Yang Tersalib?
Percaya berarti let
it be done. Percaya, adalah sebuah kerelaan membiarkan sesuatu terjadi
sebagaimana seharusnya, meski terjadi diluar duga-percaya itu sendiri. Percaya
berarti menyerahkan keyakinan dibawah otoritas yang dipercaya. Maka yang kita
percaya terjadi, tidak harus terjadi sebagaimana kita ingin hal itu terjadi.
Sebab, percaya itu tidak pamrih.
Dan Elang belajar percaya.
Percaya pada si Kura-kura, si Bebek dan Tuhan. Percaya bahwa Tuhan
bekerja melalui keputusan Kura-kura dan respon si Bebek. Sekejap hari itu,
airmata mengalir tak terbendung dibahu sahabat si Elang. Airmata itu masih
menetes bisu, saat Elang mengilas balik perjalanan pertemanannya dengan
Kura-kura dalam pikirannya. Sebuah drama dengan
bayang-bayang gelap. Cinta yang kerap diperbandingkan; kurun waktu dan momen
yang selalu diukur, kisah yang singkat dan dangkal, tarik ulur perasaan,
gempuran keyakinan, pengorbanan yang tidak pernah senilai, kesempatan yang
tersia-sia, kelemahan karakter, jebakan asumsi, cinta setengah hati, komitmen
yang rapuh dan akhirnya, sebuah bingkisan hadiah yang tertunda 8 bulan lamanya. Sungguh, sesiap apapun, kenyataan pahit tetaplah
menyakitkan, dan hati si Elang pun terluka amat dalam. Seperti disayat-sayat
dan teramat perih.
Teringat perkataan Kura-kura
yang bilang bahwa ia mengerti perasaan Elang. Tidak. Kura-kura tidak mengerti.
Memang benar kata Kura-kura, ini bukan akhir dari dunia si Elang. Tetapi
merupakan akhir dari keyakinan si Elang tentang harapan masa depan bersama
Kura-kura. Hal ini harus dipilih Elang demi memutuskan segitiga setan yang gelap.
Demi mengakhiri membuka "Kotak Pandora Cinta" tak berujung. Demi harapan serta
keyakinan baru atas janji yang murni. Elangpun menerima dengan lapang dada
keputusan si Kura-kura. Maka segalanya tentang Kura-kura harus diakhiri.
“But
you have tobe strong.
Cause
you are strong.
It’s
not the end of the world.”
Sekali lagi Elang menutup mata,
mencoba membersihkan hatinya dan merelakan sesuatu yang berharga baginya itu
untuk dilepaskan. Menerima kenyataan bahwa Elang hanya bisa memeluk Kura-kura
sebatas angan dan menyapa jiwa Kura-kura dengan doanya.
Elang berterimakasih pada Tuhan
untuk pengalaman terbaik, juga untuk segala kenangan; saat-saat yang indah dan pahit
bersama Kura-kura meski sangat sedikit dan singkat. Kemudian merangkul semuanya
didada, untuk disimpan dalam hatinya. Lalu mulai untuk terbang lagi dengan
keyakinan baru yang dipugar ulang. Bagaimanapun juga, Roh Kudus menjamin bahwa
Elang tidak sendiri. Maka Elang tidak pernah benar-benar terbang sendirian
(1Kor.3:16). ***