Jumat, 31 Agustus 2012

When Enough is Enough!

Jika seseorang percaya bahwa Allah memelihara melalui usaha terbaik setiap orang, tiap-tiap hari, maka sesungguhnya setiap orang hidup berkecukupan. Membandingkan dan perasaan kuranglah yg membuat seseorang tidak hidup berkecukupan. #memaknai arti belajar mencukupkan diri#




"Eleven Hints for Life"

1. It hurts to love someone and not be loved in return.
But what is more painful is to love someone and never find the courage to let that person know how you feel.

2. A sad thing in life is when you meet someone who means a lot to you, only to find out in the end that it was never meant to be and you just have to let go.

3. The best kind of friend is the kind you can sit on a porch swing with, never say a word, and then walk away feeling like it was the best conversation you've ever had.

4. It's true that we don't know what we've got until we lose it, but it's also true that we don't know what we've been missing until it arrives.

5. It takes only a minute to get a crush on someone, an hour to like someone, and a day to love someone-but it takes a lifetime to forget someone.

6. Don't go for looks, they can deceive. Don't go for wealth, even that fades away. Go for someone who makes you smile because it takes only a smile to make a dark day seem bright.

7. Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be. Because you have only one life undone chance to do all the things you want to do.

8. Always put yourself in the other's shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts the person too.

9. A careless word may kindle strife. A cruel word may wreck a life. A timely word may level stress. But a loving word may heal and bless.

10. The happiest of people don't necessarily have the best of everything they just make the most of everything that comes along their way.

11. Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling. Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.

- Unknown

Lagu: HE


He can turn the tides and calm the angry sea
He alone decides who writes a symphony
He lights every star that makes our darkness bright
He keeps watch all through each long and lonely night
He still finds the time to hear a child's first prayer
Saint or sinner call and always find Him there
And though it makes Him sad to see the way we live
He'll always say, "I forgive".

He can grant a wish or make a dream come true.
He can paint the clouds and turn the grey to blue.
He alone knows where to find the rainbow's end.
He alone can see what lies beyond the bend.
He can touch a tree and turn the leaves to gold
He knows every lie that you and I have told
Though it makes him sad to see the way we live
He'll always say, "I forgive". 



Selasa, 28 Agustus 2012

Y A V E

Kemarin, saat mengajar di kelas 4, seorang murid bernama Yave menangis terisak-isak setelah menerima lembar ulangan harian miliknya. Beberapa orang temannya langsung saja menghampiri. Ada yang berusaha menghibur, ada juga yang bertanya bingung mengapa gerangan Yave menangis. Sementara itu yang ditanya terus menangis dan tidak memberikan jawaban apa-apa.

Menanggapi situasi itu, aku mengerti kalau Yave tidak ingin bercerita sekarang. Lalu aku mengatakan pada Yave beberapa kalimat yang kuharapkan bisa menenangkan hatinya sejenak. Aku menawarkan padanya waktu untuk sharing setelah pelajaran usai dan memastikan padanya bahwa aku ada untuknya sebagai teman. Dengan wajah yang basah Yave mengangguk, berarti dia bersedia untuk share. Leganya hatiku. Segera setelah itu, aku mengajak seluruh murid di kelas untuk kembali fokus dalam pembahasan ulangan tersebut.

Biasanya, jika ada murid menangis karena berkelahi atau sesuatu hal lain pasti langsung kutangani. Setelah itu aku akan langsung meminta mereka meninggalkan kelas untuk mencuci wajahnya di toilet usai penanganan dan sharing. Tapi tidak dengan Yave. Dia anak yang lembut dan suaranya juga pelan, tentu hatinya saat itu sangat rapuh. Kuputuskan untuk membiarkan ia menangis tersedu di bangkunya, sementara hatiku berdoa untuk dia. Lagipula jam pelajaran sebentar lagi selesai. Dia masih terisak ketika kami melanjutkan pelajaran. Isaknya tidak berisik seperti anak yang lain.

Beberapa menit yang singkat setelahnya, pelajaran usai. Sesuai janjiku, aku mengajak Yave bercerita. Sambil terisak dia mengatakan bahwa ia takut sama orangtuanya, terutama dengan Papanya. Takut, untuk mempertanggung jawabkan nilai ulangan yang besarnya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Yave mengatakan bahwa ia akan mendapatkan hukuman seperti biasa setiap kali nilainya di bawah standar nilai orangtuanya dengan score: 80 poin, apalagi jika dibawah KKM.

Setiap kali nilai Yave jatuh, dia akan diberi ganjaran sabetan sapu di punggung, pantat atau kaki. Rasanya sangat sakit, akunya. Selain sabetan sapu, alternatif hukuman lain yang pernah diterapkan oleh Papanya adalah mengangkat sapu diatas kepala dengan kedua tangan yang terentang lurus ke atas selama waktu yang ditentukan. Katanya, pernah suatu kali disuruh menahan posisi tersebut dari malam hingga mau subuh. What! Benarkah? ;(

Yave menambahkan, pernah suatu kali, untuk menghindari kemarahan orangtuanya, dia melibatkan pembantunya si Mbak untuk menolong dia menceritakan tentang nilai ulangannya namun tidak berpengaruh. Tetap saja Yave dimarahi dan dihukum. Berikutnya, pernah suatu kali ia dibela Mamanya, tapi justru berujung pertengkaran antara Mama dengan Papanya. Dan hal itu semakin membuat Yave takut serta merasa bersalah. Yave bilang, Papa sepertinya tidak menyukainya dan Papa tidak sayang sama Yave. Waw.. kesimpulan sederhana anak-anak pada umumnya. Akupun pernah berada di posisinya.

Setiap pertanyaanku dijawab dengan jawaban yang mengharukan. Aku menarik napas dalam-dalam selama mendengar penuturannya. Rasa empati dan pengalaman pribadi membuatku hening sejenak menanggapi cerita dan setiap jawaban yang terurai dari bibir kecilnya yang basah kena airmata. Pikirku, kejam betul ayah yang demikian. Seperti ayahku dulu.

Tapi kuputuskan untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Mungkin suatu saat aku harus bertemu dengan orangtuanya, pikirku. Lalu kucoba menjelaskan pada Yave, tentang kemungkinan alasan-alasan dari sikap orangtuanya yang demikian, mendorongnya untuk memahami dari sudut pandang positif tanpa sedikitpun mendiskreditkan sikap dan tindakan orangtuanya yang menurutku sudah keliru. Bagaimanapun juga, aku mencoba menguatkan hati mungilnya yang sedih. Juga kuceritakan dengan singkat sepotong ayat Firman Tuhan (Ibrani 12 ay.8) tentang kasih orangtua, sifat ganjaran dan efeknya bagi anak-anaknya. Mudah-mudahan hal itu menghiburnya. 

Kutanyakan padanya, apakah ia pernah berdoa setiap kali merasa takut, khususnya tentang sikap ayahnya terkait nilai-nilai ulangan yang buruk? Yave bilang, tidak. Serta merta aku meyakinkan dia tentang manfaat doa. Lalu aku mengajarkan dia contoh doa singkat dan sederhana yang bisa diucapkannya setiapkali ia merasa takut, juga bagaimana cara menyampaikan pada orangtuanya tentang nilai ulangannya hari ini. Aku juga menjanjikan padanya sebuah sikap atau tindak lanjut yang bisa kuberikan untuk menanggapi persoalan KDRT yang dia alami di rumah. Mungkin aku akan bertemu dan berbicara dengan orangtuanya, dan kemungkinan-kemungkinan lain berikut alasan-alasannya. Dia mengerti serta bersedia dibantu. Selanjutnya, aku meminta Yave berjanji untuk menceritakan padaku besok disekolah, tentang apa yang akan dia alami di rumah hari ini bersama orangtuanya setelah dia menyampaikan hasil nilai ulangan harian tersebut. Yave mengangguk setuju. Akhirnya, dia sudah lebih tenang.

Hari ini, pagi sebelum menjelang jam istirahat, Yave masuk ke kantor guru meminta minyak angin karena sakit perut. Kontan aku menyambutnya, dan meminyaki perutnya yang dingin dengan minyak kayu putih. Lalu, pelan aku menanyakan bagaimana kondisinya perihal nilai ulangan kemarin. To the point saja Yave berkata dengan suaranya yang lembut dan pelan, sambil tersenyum manis bahwa Papanya tidak marah. Ouw, thanks God! Sorakku dalam hati.. :)

Sambil diminyaki, Yave bercerita, malam itu pukul 20.00 Wib saat Papa pulang kerja, dia menghampiri Papanya dengan rasa takut. Yave mengatakan kalau nilai ulangannya jelek dan minta maaf pada Papanya. Diluar dugaannya, ternyata Papa cuma menjawab, oh begitu ya, lain kali nilainya jangan jelek lagi. Itu saja. Dia lihat sikap Papa masih tenang. Bicaranya juga biasa. Lalu Papanya masuk kamar dan minta dipijat Mama karena kurang enak badan. Yave pikir, Papa sepertinya lagi sakit.

Hm.. what a grace happen that night for this lovely child, kataku dalam hati sambil tersenyum.

Aku mengajak Yave bersyukur. Bukan, bukan bersyukur Papa tidak marah karena sedang dalam kondisi tidak sehat seperti yang dipikirkan Yave kecil. Tapi aku mengajak Yave melihat hal lain dibalik situasi itu, bahwa Papa Yave mengasihi anaknya. Lalu, aku mengajak Yave berdoa, mengucap syukur diluputkan Tuhan dari hukuman gara-gara nilai yang buruk, juga karena Tuhan menunjukkan kasih-Nya melalui kebaikan hati Papa Yave malam itu. Terimakasih Tuhan.

Anw, bagaimanapun aku tetap berdoa, suatu saat harus bertemu dengan orangtua Yave. Mengajak mereka bicara dari hati ke hati tentang keadaan anak mereka berharap mereka akan mengambil alternatif dan cara lain untuk mendidik anak mereka, bukan dengan kekerasan. Amin.***

Minggu, 26 Agustus 2012

Komunitas Pendidikan

Kemajuan dan perkembangan zaman di berbagai lini dewasa ini, menjadi tantangan yang sangat berat bagi masyarakat. Perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan yang sangat masif dan mengakar dalam pola pikir, sikap dan cara hidup manusia termasuk nilai-nilai yang dihayati masyarakat. Sejalan dengan itu, sendi-sendi kehidupan masyarakat dan keluarga menjadi goyah, serta kontrol sosial menjadi lemah.

Beragam dalil dan paradigma yang mumpuni dan dijunjung tinggi serta ditaati di masa lalu pun berangsur kehilangan jejaknya berganti dengan paradigma serta dalil-dalil baru yang rapuh dan semu. Agama dianggap tidak realistis, adat-istiadat menjadi produk usang yang tidak laku dan pengaruh keteladanan orangtua, sesepuh dan leluhur menjadi kabur tergantikan dengan pengaruh idola-idola para figur publik modern yang tidak teruji nilai-nilai hidupnya. Menciptakan kekacauan nilai, norma dan budaya sehingga menyeret bangsa pada kondisi anomali yang meresahkan.

Globalisasi adalah pemicu utamanya. Globalisasi membawa serta isme-isme baru seperti kapitalisme, materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang berkembang subur dan justru menciptakan penjajahan model baru yang menghancurkan martabat manusia serta memperlebar jurang kaya-miskin. Demikian halnya dengan arus urbanisasi yang menyeret kota-kota pada pertumbuhannya yang cepat dan padat sehingga menghasilkan daerah kumuh dan gelap bersama orang-orangnya yang tersingkir dan tersisihkan, sementara desa menjadi kosong dan ditinggalkan. Begitu juga dengan pola relasi komunal, bergeser menjadi sangat individualistis.

Perubahan di atas diperparah oleh peran media. Arus informasi yang super cepat akibat dukungan teknologi, selanjutnya mempermudah penyebaran pengaruh negatif tersebut. Masuk dan meresap dengan cepat ke dalam pola-pola hubungan dan relasi serta nilai-nilai masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk pendidikan. Akibatnya dalam proses belajar mengajar, suatu kegiatan tidak pernah bersifat steril dari “hama globalisasi”. Padahal, disadari atau tidak, fenomena pendidikan zaman ini menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat khususnya orangtua, malah menyerahkan peran mendidik sepenuhnya kepada lembaga sekolah.


Wajah Pendidikan Kita

Pendidikan, adalah kunci utama dari upaya penetrasi nilai-nilai moral dan ilmu pengetahuan ke dalam diri seorang individu. Pendidikan membentuk manusia menjadi makhluk sosial. Hal ini selalu dimulai dalam keluarga; bukan lembaga sekolah. Kendatipun demikian, lembaga sekolah membantu keluarga dan orangtua dengan mengambil peran sebagai mitra yang bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.

Faktanya, perkembangan zaman telah menciptakan keluarga-keluarga dan masyarakat yang sibuk. Cukup sibuk untuk bisa berbagi waktu dan mendidik secara khusus putra-putrinya dirumah. Lalu memilih lembaga pendidikan atau sekolah sebagai alternatif untuk mengerjakan tugas mereka, dengan memberikan uang sebagai kompensasi kepada lembaga pendidikan sebagai pengganti kerja kerasnya. Hal itu dipandang cukup. Jika tidak, maka keluarga akan menyerahkan anak-anak ke lembaga-lembaga bimbingan sampai waktu yang cukup untuk pulang ke rumah dan melakukan sisa rutinitas. Apabila hal itupun tidak memenuhi standar ‘mendidik’ anak mereka, maka teknologi menjadi jawaban: televisi, internet dan segala macam gadget mengisi waktu-waktu yang masih luang yang sebenarnya dapat bermanfaat sebagai momen tranformasi nilai yang berguna bagi anak.

Lalu, apakah yang terjadi di sekolah? Ketika siswa tiba disekolah, Guru yang efektif dan visioner akan mengajarkan mereka ilmu pengetahuan sesuai dengan sistem dan kurikulum negara sambil mendidik dengan menanamkan nilai-nilai moral, agama dan tradisi menjadi sebuah “paket pendidikan”. Namun ketika siswa kembali ke rumah dan lingkungan masyarakat, paket tersebut tidak mendapat ruang ditengah-tengah agresi nilai globalisasi tadi.

Siswa menjadi kecewa, Guru menjadi utopia dan keluarga merasa putus asa. Kemudian, masyarakat yang tertekan ini lahir menjadi masyarakat dengan tingkat stress yang tinggi. Situasi ini memperburuk keadaan generasi muda kita, sehingga mendorong mereka pada pemberontakan terhadap nilai-nilai moralitas yang telah mereka terima sebelumnya.


Keluarga dan Masyarakat adalah Komunitas Pendidikan

Lantas, bagaimana memahami pendidikan dalam situasi masyarakat yang terus berubah? Bagaimana caranya membuat nilai-nilai moral mengakar dengan jelas dalam diri generasi muda masa kini ditengah kondisi nilai lama yang sudah goyah dan ketidakjelasan nilai-nilai baru dewasa ini?

Jika kita sepakat bahwa pendidikan haruslah merupakan upaya yang terpadu dari semua unsur di masyarakat, maka pendidikan menuntut keterlibatan negara, lembaga pendidikan dan keluarga. Itu berarti, negara harus menciptakan sistem pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan pendidikan sebagai pemeran utama dalam pembentukan jiwa dan karakter generasi mudanya. Sejalan dengan itu, melahirkan lembaga-lembaga pendidikan visioner yang dapat dijangkau semua kalangan tanpa terkecuali, yang mampu bekerja sama dengan keluarga-keluarga, melakukan perannya sebagai mitra pendidikan yang efektif, kreatif dan berani.

Selalu tersedia lembaga pendidikan atau sekolahan bagi siswa dan generasi muda masa ini. Namun belum pernah ada sekolahan untuk keluarga. Padahal, kapankah pendidikan dimulai? Sejak seorang anak lahir, dipangkuan seorang Ibu, dalam dekapan orangtua. Pendidikan dimulai dalam lingkungan keluarga. Maka, keluarga harus menjadi sekolahan yang mula-mula bagi seorang individu.

Berikut kutipan pernyataan dari Herr Majesty Queen Rania Al Abdullah of Jordan, yang mengatakan: “Mendidik anak-anak kita bukan berarti mengajarkan kepada mereka sekumpulan ilmu pengetahuan semata. Lebih penting lagi, mendidik berarti mengajarkan kepada anak-anak kita sejak usia dini, kemampuan untuk siap dan mampu menghadapi tantangan dunia masa depan yang akan menjadi ajang hidup mereka nantinya. Dan ini berarti menanamkan keingintahuan dan rasa cinta belajar seumur hidup, kreativitas, keberanian mengemukakan pendapat dan berekspresi, serta penghargaan akan segala bentuk perbedaan (antar manusia).”

Jika keluarga bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai komunitas pendidikan, maka secara otomatis akan lahir juga masyarakat sebagai komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan dapat menolong individu, bukan saja anak/siswa melainkan juga orangtua dibentuk menjadi pribadi yang utuh. Komunitas pendidikan membantu individu untuk membangun relasinya dengan diri sendiri (misalnya: mengenali kelemahan dan kemampuan diri sendiri, belajar untuk percaya diri, menghargai cita-citanya, dll), membangun relasi dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat yang inklusif serta menghargai kesetaraan atau persamaan derajat manusia (misalnya: berlaku santun kepada pembantu rumah tangga, bersikap anti kekerasan dengan sesama, dll), membangun relasi dengan alam (misalnya: belajar mendaur ulang sampah, menjaga kebersihan lingkungan, dll pengetahuan ekologis), dan membangun relasi dengan Tuhan (misalnya: menyukai kegiatan-kegiatan ibadah dan dialog lintas budaya dan agama, dll).

Keseluruhannya ini, secara sendirinya mampu membentuk sistem kontrol sosial yang alamiah untuk meng-counter perubahan yang terjadi di tengah-tengah bangsa ini. Hal-hal tersebut, tidak dapat dipenuhi hanya dibangku sekolahan/lembaga pendidikan, melainkan dimulai dari rumah atau keluarga. Untuk itu, mari bersama kita membangun komunitas pendidikan dengan menciptakan masyarakat sebagai sebuah sekolah bagi setiap individu dewasa maupun generasi muda yang sedang bertumbuh.

--Penulis adalah seorang pembelajar dan anggota KDAS/KDJ.