Kemajuan dan perkembangan zaman di berbagai lini dewasa ini, menjadi tantangan yang sangat berat bagi masyarakat. Perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan yang sangat masif dan mengakar dalam pola pikir, sikap dan cara hidup manusia termasuk nilai-nilai yang dihayati masyarakat. Sejalan dengan itu, sendi-sendi kehidupan masyarakat dan keluarga menjadi goyah, serta kontrol sosial menjadi lemah.
Beragam dalil dan paradigma yang mumpuni dan dijunjung tinggi serta ditaati di masa lalu pun berangsur kehilangan jejaknya berganti dengan paradigma serta dalil-dalil baru yang rapuh dan semu. Agama dianggap tidak realistis, adat-istiadat menjadi produk usang yang tidak laku dan pengaruh keteladanan orangtua, sesepuh dan leluhur menjadi kabur tergantikan dengan pengaruh idola-idola para figur publik modern yang tidak teruji nilai-nilai hidupnya. Menciptakan kekacauan nilai, norma dan budaya sehingga menyeret bangsa pada kondisi anomali yang meresahkan.
Globalisasi adalah pemicu utamanya. Globalisasi membawa serta isme-isme baru seperti kapitalisme, materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang berkembang subur dan justru menciptakan penjajahan model baru yang menghancurkan martabat manusia serta memperlebar jurang kaya-miskin. Demikian halnya dengan arus urbanisasi yang menyeret kota-kota pada pertumbuhannya yang cepat dan padat sehingga menghasilkan daerah kumuh dan gelap bersama orang-orangnya yang tersingkir dan tersisihkan, sementara desa menjadi kosong dan ditinggalkan. Begitu juga dengan pola relasi komunal, bergeser menjadi sangat individualistis.
Perubahan di atas diperparah oleh peran media. Arus informasi yang super cepat akibat dukungan teknologi, selanjutnya mempermudah penyebaran pengaruh negatif tersebut. Masuk dan meresap dengan cepat ke dalam pola-pola hubungan dan relasi serta nilai-nilai masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk pendidikan. Akibatnya dalam proses belajar mengajar, suatu kegiatan tidak pernah bersifat steril dari “hama globalisasi”. Padahal, disadari atau tidak, fenomena pendidikan zaman ini menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat khususnya orangtua, malah menyerahkan peran mendidik sepenuhnya kepada lembaga sekolah.
Wajah Pendidikan Kita
Pendidikan, adalah kunci utama dari upaya penetrasi nilai-nilai moral dan ilmu pengetahuan ke dalam diri seorang individu. Pendidikan membentuk manusia menjadi makhluk sosial. Hal ini selalu dimulai dalam keluarga; bukan lembaga sekolah. Kendatipun demikian, lembaga sekolah membantu keluarga dan orangtua dengan mengambil peran sebagai mitra yang bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Faktanya, perkembangan zaman telah menciptakan keluarga-keluarga dan masyarakat yang sibuk. Cukup sibuk untuk bisa berbagi waktu dan mendidik secara khusus putra-putrinya dirumah. Lalu memilih lembaga pendidikan atau sekolah sebagai alternatif untuk mengerjakan tugas mereka, dengan memberikan uang sebagai kompensasi kepada lembaga pendidikan sebagai pengganti kerja kerasnya. Hal itu dipandang cukup. Jika tidak, maka keluarga akan menyerahkan anak-anak ke lembaga-lembaga bimbingan sampai waktu yang cukup untuk pulang ke rumah dan melakukan sisa rutinitas. Apabila hal itupun tidak memenuhi standar ‘mendidik’ anak mereka, maka teknologi menjadi jawaban: televisi, internet dan segala macam gadget mengisi waktu-waktu yang masih luang yang sebenarnya dapat bermanfaat sebagai momen tranformasi nilai yang berguna bagi anak.
Lalu, apakah yang terjadi di sekolah? Ketika siswa tiba disekolah, Guru yang efektif dan visioner akan mengajarkan mereka ilmu pengetahuan sesuai dengan sistem dan kurikulum negara sambil mendidik dengan menanamkan nilai-nilai moral, agama dan tradisi menjadi sebuah “paket pendidikan”. Namun ketika siswa kembali ke rumah dan lingkungan masyarakat, paket tersebut tidak mendapat ruang ditengah-tengah agresi nilai globalisasi tadi.
Siswa menjadi kecewa, Guru menjadi utopia dan keluarga merasa putus asa. Kemudian, masyarakat yang tertekan ini lahir menjadi masyarakat dengan tingkat stress yang tinggi. Situasi ini memperburuk keadaan generasi muda kita, sehingga mendorong mereka pada pemberontakan terhadap nilai-nilai moralitas yang telah mereka terima sebelumnya.
Keluarga dan Masyarakat adalah Komunitas Pendidikan
Lantas, bagaimana memahami pendidikan dalam situasi masyarakat yang terus berubah? Bagaimana caranya membuat nilai-nilai moral mengakar dengan jelas dalam diri generasi muda masa kini ditengah kondisi nilai lama yang sudah goyah dan ketidakjelasan nilai-nilai baru dewasa ini?
Jika kita sepakat bahwa pendidikan haruslah merupakan upaya yang terpadu dari semua unsur di masyarakat, maka pendidikan menuntut keterlibatan negara, lembaga pendidikan dan keluarga. Itu berarti, negara harus menciptakan sistem pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan pendidikan sebagai pemeran utama dalam pembentukan jiwa dan karakter generasi mudanya. Sejalan dengan itu, melahirkan lembaga-lembaga pendidikan visioner yang dapat dijangkau semua kalangan tanpa terkecuali, yang mampu bekerja sama dengan keluarga-keluarga, melakukan perannya sebagai mitra pendidikan yang efektif, kreatif dan berani.
Selalu tersedia lembaga pendidikan atau sekolahan bagi siswa dan generasi muda masa ini. Namun belum pernah ada sekolahan untuk keluarga. Padahal, kapankah pendidikan dimulai? Sejak seorang anak lahir, dipangkuan seorang Ibu, dalam dekapan orangtua. Pendidikan dimulai dalam lingkungan keluarga. Maka, keluarga harus menjadi sekolahan yang mula-mula bagi seorang individu.
Berikut kutipan pernyataan dari Herr Majesty Queen Rania Al Abdullah of Jordan, yang mengatakan: “Mendidik anak-anak kita bukan berarti mengajarkan kepada mereka sekumpulan ilmu pengetahuan semata. Lebih penting lagi, mendidik berarti mengajarkan kepada anak-anak kita sejak usia dini, kemampuan untuk siap dan mampu menghadapi tantangan dunia masa depan yang akan menjadi ajang hidup mereka nantinya. Dan ini berarti menanamkan keingintahuan dan rasa cinta belajar seumur hidup, kreativitas, keberanian mengemukakan pendapat dan berekspresi, serta penghargaan akan segala bentuk perbedaan (antar manusia).”
Jika keluarga bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai komunitas pendidikan, maka secara otomatis akan lahir juga masyarakat sebagai komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan dapat menolong individu, bukan saja anak/siswa melainkan juga orangtua dibentuk menjadi pribadi yang utuh. Komunitas pendidikan membantu individu untuk membangun relasinya dengan diri sendiri (misalnya: mengenali kelemahan dan kemampuan diri sendiri, belajar untuk percaya diri, menghargai cita-citanya, dll), membangun relasi dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat yang inklusif serta menghargai kesetaraan atau persamaan derajat manusia (misalnya: berlaku santun kepada pembantu rumah tangga, bersikap anti kekerasan dengan sesama, dll), membangun relasi dengan alam (misalnya: belajar mendaur ulang sampah, menjaga kebersihan lingkungan, dll pengetahuan ekologis), dan membangun relasi dengan Tuhan (misalnya: menyukai kegiatan-kegiatan ibadah dan dialog lintas budaya dan agama, dll).
Keseluruhannya ini, secara sendirinya mampu membentuk sistem kontrol sosial yang alamiah untuk meng-counter perubahan yang terjadi di tengah-tengah bangsa ini. Hal-hal tersebut, tidak dapat dipenuhi hanya dibangku sekolahan/lembaga pendidikan, melainkan dimulai dari rumah atau keluarga. Untuk itu, mari bersama kita membangun komunitas pendidikan dengan menciptakan masyarakat sebagai sebuah sekolah bagi setiap individu dewasa maupun generasi muda yang sedang bertumbuh.
--Penulis adalah seorang pembelajar dan anggota KDAS/KDJ.