Selasa, 28 Agustus 2012

Y A V E

Kemarin, saat mengajar di kelas 4, seorang murid bernama Yave menangis terisak-isak setelah menerima lembar ulangan harian miliknya. Beberapa orang temannya langsung saja menghampiri. Ada yang berusaha menghibur, ada juga yang bertanya bingung mengapa gerangan Yave menangis. Sementara itu yang ditanya terus menangis dan tidak memberikan jawaban apa-apa.

Menanggapi situasi itu, aku mengerti kalau Yave tidak ingin bercerita sekarang. Lalu aku mengatakan pada Yave beberapa kalimat yang kuharapkan bisa menenangkan hatinya sejenak. Aku menawarkan padanya waktu untuk sharing setelah pelajaran usai dan memastikan padanya bahwa aku ada untuknya sebagai teman. Dengan wajah yang basah Yave mengangguk, berarti dia bersedia untuk share. Leganya hatiku. Segera setelah itu, aku mengajak seluruh murid di kelas untuk kembali fokus dalam pembahasan ulangan tersebut.

Biasanya, jika ada murid menangis karena berkelahi atau sesuatu hal lain pasti langsung kutangani. Setelah itu aku akan langsung meminta mereka meninggalkan kelas untuk mencuci wajahnya di toilet usai penanganan dan sharing. Tapi tidak dengan Yave. Dia anak yang lembut dan suaranya juga pelan, tentu hatinya saat itu sangat rapuh. Kuputuskan untuk membiarkan ia menangis tersedu di bangkunya, sementara hatiku berdoa untuk dia. Lagipula jam pelajaran sebentar lagi selesai. Dia masih terisak ketika kami melanjutkan pelajaran. Isaknya tidak berisik seperti anak yang lain.

Beberapa menit yang singkat setelahnya, pelajaran usai. Sesuai janjiku, aku mengajak Yave bercerita. Sambil terisak dia mengatakan bahwa ia takut sama orangtuanya, terutama dengan Papanya. Takut, untuk mempertanggung jawabkan nilai ulangan yang besarnya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Yave mengatakan bahwa ia akan mendapatkan hukuman seperti biasa setiap kali nilainya di bawah standar nilai orangtuanya dengan score: 80 poin, apalagi jika dibawah KKM.

Setiap kali nilai Yave jatuh, dia akan diberi ganjaran sabetan sapu di punggung, pantat atau kaki. Rasanya sangat sakit, akunya. Selain sabetan sapu, alternatif hukuman lain yang pernah diterapkan oleh Papanya adalah mengangkat sapu diatas kepala dengan kedua tangan yang terentang lurus ke atas selama waktu yang ditentukan. Katanya, pernah suatu kali disuruh menahan posisi tersebut dari malam hingga mau subuh. What! Benarkah? ;(

Yave menambahkan, pernah suatu kali, untuk menghindari kemarahan orangtuanya, dia melibatkan pembantunya si Mbak untuk menolong dia menceritakan tentang nilai ulangannya namun tidak berpengaruh. Tetap saja Yave dimarahi dan dihukum. Berikutnya, pernah suatu kali ia dibela Mamanya, tapi justru berujung pertengkaran antara Mama dengan Papanya. Dan hal itu semakin membuat Yave takut serta merasa bersalah. Yave bilang, Papa sepertinya tidak menyukainya dan Papa tidak sayang sama Yave. Waw.. kesimpulan sederhana anak-anak pada umumnya. Akupun pernah berada di posisinya.

Setiap pertanyaanku dijawab dengan jawaban yang mengharukan. Aku menarik napas dalam-dalam selama mendengar penuturannya. Rasa empati dan pengalaman pribadi membuatku hening sejenak menanggapi cerita dan setiap jawaban yang terurai dari bibir kecilnya yang basah kena airmata. Pikirku, kejam betul ayah yang demikian. Seperti ayahku dulu.

Tapi kuputuskan untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Mungkin suatu saat aku harus bertemu dengan orangtuanya, pikirku. Lalu kucoba menjelaskan pada Yave, tentang kemungkinan alasan-alasan dari sikap orangtuanya yang demikian, mendorongnya untuk memahami dari sudut pandang positif tanpa sedikitpun mendiskreditkan sikap dan tindakan orangtuanya yang menurutku sudah keliru. Bagaimanapun juga, aku mencoba menguatkan hati mungilnya yang sedih. Juga kuceritakan dengan singkat sepotong ayat Firman Tuhan (Ibrani 12 ay.8) tentang kasih orangtua, sifat ganjaran dan efeknya bagi anak-anaknya. Mudah-mudahan hal itu menghiburnya. 

Kutanyakan padanya, apakah ia pernah berdoa setiap kali merasa takut, khususnya tentang sikap ayahnya terkait nilai-nilai ulangan yang buruk? Yave bilang, tidak. Serta merta aku meyakinkan dia tentang manfaat doa. Lalu aku mengajarkan dia contoh doa singkat dan sederhana yang bisa diucapkannya setiapkali ia merasa takut, juga bagaimana cara menyampaikan pada orangtuanya tentang nilai ulangannya hari ini. Aku juga menjanjikan padanya sebuah sikap atau tindak lanjut yang bisa kuberikan untuk menanggapi persoalan KDRT yang dia alami di rumah. Mungkin aku akan bertemu dan berbicara dengan orangtuanya, dan kemungkinan-kemungkinan lain berikut alasan-alasannya. Dia mengerti serta bersedia dibantu. Selanjutnya, aku meminta Yave berjanji untuk menceritakan padaku besok disekolah, tentang apa yang akan dia alami di rumah hari ini bersama orangtuanya setelah dia menyampaikan hasil nilai ulangan harian tersebut. Yave mengangguk setuju. Akhirnya, dia sudah lebih tenang.

Hari ini, pagi sebelum menjelang jam istirahat, Yave masuk ke kantor guru meminta minyak angin karena sakit perut. Kontan aku menyambutnya, dan meminyaki perutnya yang dingin dengan minyak kayu putih. Lalu, pelan aku menanyakan bagaimana kondisinya perihal nilai ulangan kemarin. To the point saja Yave berkata dengan suaranya yang lembut dan pelan, sambil tersenyum manis bahwa Papanya tidak marah. Ouw, thanks God! Sorakku dalam hati.. :)

Sambil diminyaki, Yave bercerita, malam itu pukul 20.00 Wib saat Papa pulang kerja, dia menghampiri Papanya dengan rasa takut. Yave mengatakan kalau nilai ulangannya jelek dan minta maaf pada Papanya. Diluar dugaannya, ternyata Papa cuma menjawab, oh begitu ya, lain kali nilainya jangan jelek lagi. Itu saja. Dia lihat sikap Papa masih tenang. Bicaranya juga biasa. Lalu Papanya masuk kamar dan minta dipijat Mama karena kurang enak badan. Yave pikir, Papa sepertinya lagi sakit.

Hm.. what a grace happen that night for this lovely child, kataku dalam hati sambil tersenyum.

Aku mengajak Yave bersyukur. Bukan, bukan bersyukur Papa tidak marah karena sedang dalam kondisi tidak sehat seperti yang dipikirkan Yave kecil. Tapi aku mengajak Yave melihat hal lain dibalik situasi itu, bahwa Papa Yave mengasihi anaknya. Lalu, aku mengajak Yave berdoa, mengucap syukur diluputkan Tuhan dari hukuman gara-gara nilai yang buruk, juga karena Tuhan menunjukkan kasih-Nya melalui kebaikan hati Papa Yave malam itu. Terimakasih Tuhan.

Anw, bagaimanapun aku tetap berdoa, suatu saat harus bertemu dengan orangtua Yave. Mengajak mereka bicara dari hati ke hati tentang keadaan anak mereka berharap mereka akan mengambil alternatif dan cara lain untuk mendidik anak mereka, bukan dengan kekerasan. Amin.***