Minggu, 16 September 2012
Tentang Pertobatan
Kesadaran semu menghasilkan pertobatan palsu.
Dalam pertobatan palsu tidak ada pengampunan.
Tanpa pengampunan seseorang tetap tinggal di dalam dosanya.
Dan dosa membuat kita kehilangan kepekaan rohani akan Allah.
Dosa adalah penghalang kita untuk bisa mendengar suara Tuhan.
--Yeremia 5 : 25
Kamis, 13 September 2012
I Never Have To "Fly Solo"
Kamu bilang Kelinci, padahal
Elang. Kupikir Elang, padahal Kura-kura.
Elang dan Kura-kura tidak bisa
berpasangan, sebab mereka berbeda.
Elang terduduk lemas dan kelu
di balik batu cadas perlindungannya, menarik napas dalam-dalam. Perlahan
mencoba merenungi semuanya. Agak gamang, namun rasionya bekerja menenangkan
batinnya yang bergejolak. Iman rapuhnya mencoba meyakinkannya bahwa Tuhan sudah
menentukan yang terbaik untuknya. Tuhan, tidak mungkin salah. Tuhan tidak punya
rencana alternatif bagi hidupnya. Maka kenyataan hari ini harus bersedia
ditanggungnya.
Ya, Elang baru saja menerima
sebuah bingkisan kado yang selama ini ditunggu dari si Kura-kura: sebuah
KEPUTUSAN. Akhirnya, Kura-kura memutuskan tidak ingin terbang bersama Elang dan
mau berusaha kembali pada Bebek.
Elang menghela nafas panjang,
merasa maklum sebab selama ini Elang tahu kalau Kura-kura lebih senang bermain
dengan Bebek. Meski sejak awal pendekatan dengan Elang, si Kura-kura mengaku
sudah tidak berteman lagi secara intens dengan si Bebek, tapi kenyataannya
sulit bagi Kura-kura untuk jauh apalagi memutuskan komunikasi dengan si Bebek.
Hal inilah yang membuat Elang
meragukan cinta si Kura-kura. Benarkah si Kura-kura sungguh-sungguh mencintai
Elang? Pernyataan cinta, perlakuan baik, perhatian tulus, ikatan perasaan,
kejujuran yang naif hingga sebuah lamaran untuk sehidup semati? Maka Elang pun memulai
pencarian bukti atas hal itu; semua statement, segala sikap dan tindakan…
segala hal yang (anehnya) malah membuat Elang merasa tidak dicintai oleh
si Kura-kura. Namun di lubuk hatinya, Elang punya keyakinan. Tapi keyakinan bisa
salah sebab Elang bukan mahkluk sempurna. Maka, keyakinan ini harus di compare dengan sebuah keputusan si
Kura-kura, sebab si Kura-kura mendua hati.
Kura-kura Dan Bebek
Telah lama berbagi rasa berdua,
begitu banyak cerita. Bermain air hingga lumpur telah mereka lalui bersama.
Begitulah pengakuan si Kura-kura. Terlalu sulit bagi Kura-kura untuk melepaskan
kenangan tentang kebiasaan bermain lumpur yang menyenangkan serta segala
perbincangan panjang yang memicu adrenalin bersama Bebek. Sementara si Bebek
pun, telah sangat lama terbuai dengan sikap Kura-kura yang heroik dalam
kehidupannya yang tak pernah putus dirundung malang. Bagi si Bebek, Kura-kura
selalu menjadi jawaban atas keluh-kesahnya yang menghiba. Sebaliknya, Bebek
bagi Kura-kura, telah menjadi luapan hasrat bermain yang hebat.
Bebek si pintar, hampir
sempurna dalam kekuatan dan kelemahannya. Bebek tahu bagaimana memikat dan
mengikat hati si Kura-kura. Seolah Bebek mengetahui segala yang dibutuhkan
Kura-kura dan selalu bersedia memberikan segalanya untuk Kura-kura. Bebek
berpikir dia punya motif kuat untuk begitu. Pertemanan yang tidak memiliki
kejelasan dan tak berujung pun dipertahankannya demi cinta yang
tidak mampu si Bebek definisikan dengan cara yang benar. Kemalangan, kemarahan, kekecewaan
dan nafsu bergantian. Pilihan-pilihan yang nekat, jatuh bangun, pergi dan
kembali. Bahkan Tuhan seringkali dipersalahkan sebagai pemberi pencobaan. Apakah Tuhan mencobai ciptaan-Nya?
Kura-kura, si lemah hati, diam-diam mengeluh tentang pertemanan yang tidak sehat dengan si Bebek akibat kotornya lumpur permainan yang tidak pernah tuntas dibersihkan. Tumbuh menjadi parasit dalam hidupnya dan sandungan dalam usahanya untuk memulai hidup yang bersih. Kura-kura teramat merindukan kehidupan yang baru, namun enggan keluar dari kesenangan bermain dengan si Bebek. Terus larut dalam kubangan lumpur tersebut yang entah disadarinya atau tidak, turut melanggengkan dan memeliharanya.
Kura-kura, si lemah hati, diam-diam mengeluh tentang pertemanan yang tidak sehat dengan si Bebek akibat kotornya lumpur permainan yang tidak pernah tuntas dibersihkan. Tumbuh menjadi parasit dalam hidupnya dan sandungan dalam usahanya untuk memulai hidup yang bersih. Kura-kura teramat merindukan kehidupan yang baru, namun enggan keluar dari kesenangan bermain dengan si Bebek. Terus larut dalam kubangan lumpur tersebut yang entah disadarinya atau tidak, turut melanggengkan dan memeliharanya.
Lalu, Kura-kura mengundang
Elang gunung yang keras hati masuk dalam segitiga setan itu dan membuatnya percaya
dan jatuh hati padanya. Namun rasa bersalah dan perasaan iba pada Bebek,
sesuatu yang tidak bisa disangkalnya. Inilah buah dari keegoisan si Kura-kura.
Akhirnya, drama demi drama bergulir, nyaris lepas kendali. “Harus dihentikan!”
demikian tekad si Elang.
Keyakinan Sang Elang
Dari
kasih yang salah, hal-hal menjadi lunak.
Dari
pilihan yang mudah, menjadi kelemahan
--bukan
itu semangat membangun benteng,
bukan
pula jalan menuju Yang Tersalib--
dari
semua yang meredupkan kalvari-Mu,
oh
Domba Anak Allah, lepaskanlah aku.
(Amy
Charmichael)
Apakah harga yang pantas untuk
sebuah cinta-kasih? Adakah cinta-kasih yang tulus melahirkan ancaman, ketakutan
dan perasaan bersalah? Mungkinkah sebuah ketulusan hati melulu memperhitungkan
kelemahan dan kekuatan, kelebihan dan kekurangan? Bukankah penyangkalan yang
benar, lahir dari cinta-kasih yang benar pula? Bilamanakah kesadaran
cinta-kasih menuntun pada koridor yang tepat menuju Yang Tersalib?
Percaya berarti let
it be done. Percaya, adalah sebuah kerelaan membiarkan sesuatu terjadi
sebagaimana seharusnya, meski terjadi diluar duga-percaya itu sendiri. Percaya
berarti menyerahkan keyakinan dibawah otoritas yang dipercaya. Maka yang kita
percaya terjadi, tidak harus terjadi sebagaimana kita ingin hal itu terjadi.
Sebab, percaya itu tidak pamrih.
Dan Elang belajar percaya.
Percaya pada si Kura-kura, si Bebek dan Tuhan. Percaya bahwa Tuhan
bekerja melalui keputusan Kura-kura dan respon si Bebek. Sekejap hari itu,
airmata mengalir tak terbendung dibahu sahabat si Elang. Airmata itu masih
menetes bisu, saat Elang mengilas balik perjalanan pertemanannya dengan
Kura-kura dalam pikirannya. Sebuah drama dengan
bayang-bayang gelap. Cinta yang kerap diperbandingkan; kurun waktu dan momen
yang selalu diukur, kisah yang singkat dan dangkal, tarik ulur perasaan,
gempuran keyakinan, pengorbanan yang tidak pernah senilai, kesempatan yang
tersia-sia, kelemahan karakter, jebakan asumsi, cinta setengah hati, komitmen
yang rapuh dan akhirnya, sebuah bingkisan hadiah yang tertunda 8 bulan lamanya. Sungguh, sesiap apapun, kenyataan pahit tetaplah
menyakitkan, dan hati si Elang pun terluka amat dalam. Seperti disayat-sayat
dan teramat perih.
Teringat perkataan Kura-kura
yang bilang bahwa ia mengerti perasaan Elang. Tidak. Kura-kura tidak mengerti.
Memang benar kata Kura-kura, ini bukan akhir dari dunia si Elang. Tetapi
merupakan akhir dari keyakinan si Elang tentang harapan masa depan bersama
Kura-kura. Hal ini harus dipilih Elang demi memutuskan segitiga setan yang gelap.
Demi mengakhiri membuka "Kotak Pandora Cinta" tak berujung. Demi harapan serta
keyakinan baru atas janji yang murni. Elangpun menerima dengan lapang dada
keputusan si Kura-kura. Maka segalanya tentang Kura-kura harus diakhiri.
“But
you have tobe strong.
Cause
you are strong.
It’s
not the end of the world.”
Sekali lagi Elang menutup mata,
mencoba membersihkan hatinya dan merelakan sesuatu yang berharga baginya itu
untuk dilepaskan. Menerima kenyataan bahwa Elang hanya bisa memeluk Kura-kura
sebatas angan dan menyapa jiwa Kura-kura dengan doanya.
Elang berterimakasih pada Tuhan
untuk pengalaman terbaik, juga untuk segala kenangan; saat-saat yang indah dan pahit
bersama Kura-kura meski sangat sedikit dan singkat. Kemudian merangkul semuanya
didada, untuk disimpan dalam hatinya. Lalu mulai untuk terbang lagi dengan
keyakinan baru yang dipugar ulang. Bagaimanapun juga, Roh Kudus menjamin bahwa
Elang tidak sendiri. Maka Elang tidak pernah benar-benar terbang sendirian
(1Kor.3:16). ***
Jumat, 31 Agustus 2012
When Enough is Enough!
Jika seseorang percaya bahwa Allah memelihara
melalui usaha terbaik setiap orang, tiap-tiap hari, maka sesungguhnya setiap
orang hidup berkecukupan. Membandingkan dan perasaan kuranglah yg membuat
seseorang tidak hidup berkecukupan. #memaknai arti belajar mencukupkan
diri#
"Eleven Hints for Life"
1. It hurts to love someone and not be loved in return.
But what is more painful is to love someone and never find the courage to let that person know how you feel.
2. A sad thing in life is when you meet someone who means a lot to you, only to find out in the end that it was never meant to be and you just have to let go.
3. The best kind of friend is the kind you can sit on a porch swing with, never say a word, and then walk away feeling like it was the best conversation you've ever had.
4. It's true that we don't know what we've got until we lose it, but it's also true that we don't know what we've been missing until it arrives.
5. It takes only a minute to get a crush on someone, an hour to like someone, and a day to love someone-but it takes a lifetime to forget someone.
6. Don't go for looks, they can deceive. Don't go for wealth, even that fades away. Go for someone who makes you smile because it takes only a smile to make a dark day seem bright.
7. Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be. Because you have only one life undone chance to do all the things you want to do.
8. Always put yourself in the other's shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts the person too.
9. A careless word may kindle strife. A cruel word may wreck a life. A timely word may level stress. But a loving word may heal and bless.
10. The happiest of people don't necessarily have the best of everything they just make the most of everything that comes along their way.
11. Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling. Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.
- Unknown
But what is more painful is to love someone and never find the courage to let that person know how you feel.
2. A sad thing in life is when you meet someone who means a lot to you, only to find out in the end that it was never meant to be and you just have to let go.
3. The best kind of friend is the kind you can sit on a porch swing with, never say a word, and then walk away feeling like it was the best conversation you've ever had.
4. It's true that we don't know what we've got until we lose it, but it's also true that we don't know what we've been missing until it arrives.
5. It takes only a minute to get a crush on someone, an hour to like someone, and a day to love someone-but it takes a lifetime to forget someone.
6. Don't go for looks, they can deceive. Don't go for wealth, even that fades away. Go for someone who makes you smile because it takes only a smile to make a dark day seem bright.
7. Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be. Because you have only one life undone chance to do all the things you want to do.
8. Always put yourself in the other's shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts the person too.
9. A careless word may kindle strife. A cruel word may wreck a life. A timely word may level stress. But a loving word may heal and bless.
10. The happiest of people don't necessarily have the best of everything they just make the most of everything that comes along their way.
11. Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling. Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.
- Unknown
Lagu: HE
He can turn the tides and calm the angry sea
He alone decides who writes a symphony
He lights every star that makes our darkness bright
He keeps watch all through each long and lonely night
He still finds the time to hear a child's first prayer
Saint or sinner call and always find Him there
And though it makes Him sad to see the way we live
He'll always say, "I forgive".
He can grant a wish or make a dream come true.
He can paint the clouds and turn the grey to blue.
He alone knows where to find the rainbow's end.
He alone can see what lies beyond the bend.
He can touch a tree and turn the leaves to gold
He knows every lie that you and I have told
Though it makes him sad to see the way we live
He'll always say, "I forgive".
Selasa, 28 Agustus 2012
Y A V E
Kemarin, saat mengajar di kelas 4, seorang murid bernama Yave menangis terisak-isak setelah menerima lembar ulangan harian miliknya. Beberapa orang temannya langsung saja menghampiri. Ada yang berusaha menghibur, ada juga yang bertanya bingung mengapa gerangan Yave menangis. Sementara itu yang ditanya terus menangis dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Menanggapi situasi itu, aku mengerti kalau Yave tidak ingin bercerita sekarang. Lalu aku mengatakan pada Yave beberapa kalimat yang kuharapkan bisa menenangkan hatinya sejenak. Aku menawarkan padanya waktu untuk sharing setelah pelajaran usai dan memastikan padanya bahwa aku ada untuknya sebagai teman. Dengan wajah yang basah Yave mengangguk, berarti dia bersedia untuk share. Leganya hatiku. Segera setelah itu, aku mengajak seluruh murid di kelas untuk kembali fokus dalam pembahasan ulangan tersebut.
Biasanya, jika ada murid menangis karena berkelahi atau sesuatu hal lain pasti langsung kutangani. Setelah itu aku akan langsung meminta mereka meninggalkan kelas untuk mencuci wajahnya di toilet usai penanganan dan sharing. Tapi tidak dengan Yave. Dia anak yang lembut dan suaranya juga pelan, tentu hatinya saat itu sangat rapuh. Kuputuskan untuk membiarkan ia menangis tersedu di bangkunya, sementara hatiku berdoa untuk dia. Lagipula jam pelajaran sebentar lagi selesai. Dia masih terisak ketika kami melanjutkan pelajaran. Isaknya tidak berisik seperti anak yang lain.
Beberapa menit yang singkat setelahnya, pelajaran usai. Sesuai janjiku, aku mengajak Yave bercerita. Sambil terisak dia mengatakan bahwa ia takut sama orangtuanya, terutama dengan Papanya. Takut, untuk mempertanggung jawabkan nilai ulangan yang besarnya di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Yave mengatakan bahwa ia akan mendapatkan hukuman seperti biasa setiap kali nilainya di bawah standar nilai orangtuanya dengan score: 80 poin, apalagi jika dibawah KKM.
Setiap kali nilai Yave jatuh, dia akan diberi ganjaran sabetan sapu di punggung, pantat atau kaki. Rasanya sangat sakit, akunya. Selain sabetan sapu, alternatif hukuman lain yang pernah diterapkan oleh Papanya adalah mengangkat sapu diatas kepala dengan kedua tangan yang terentang lurus ke atas selama waktu yang ditentukan. Katanya, pernah suatu kali disuruh menahan posisi tersebut dari malam hingga mau subuh. What! Benarkah? ;(
Yave menambahkan, pernah suatu kali, untuk menghindari kemarahan orangtuanya, dia melibatkan pembantunya si Mbak untuk menolong dia menceritakan tentang nilai ulangannya namun tidak berpengaruh. Tetap saja Yave dimarahi dan dihukum. Berikutnya, pernah suatu kali ia dibela Mamanya, tapi justru berujung pertengkaran antara Mama dengan Papanya. Dan hal itu semakin membuat Yave takut serta merasa bersalah. Yave bilang, Papa sepertinya tidak menyukainya dan Papa tidak sayang sama Yave. Waw.. kesimpulan sederhana anak-anak pada umumnya. Akupun pernah berada di posisinya.
Setiap pertanyaanku dijawab dengan jawaban yang mengharukan. Aku menarik napas dalam-dalam selama mendengar penuturannya. Rasa empati dan pengalaman pribadi membuatku hening sejenak menanggapi cerita dan setiap jawaban yang terurai dari bibir kecilnya yang basah kena airmata. Pikirku, kejam betul ayah yang demikian. Seperti ayahku dulu.
Tapi kuputuskan untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Mungkin suatu saat aku harus bertemu dengan orangtuanya, pikirku. Lalu kucoba menjelaskan pada Yave, tentang kemungkinan alasan-alasan dari sikap orangtuanya yang demikian, mendorongnya untuk memahami dari sudut pandang positif tanpa sedikitpun mendiskreditkan sikap dan tindakan orangtuanya yang menurutku sudah keliru. Bagaimanapun juga, aku mencoba menguatkan hati mungilnya yang sedih. Juga kuceritakan dengan singkat sepotong ayat Firman Tuhan (Ibrani 12 ay.8) tentang kasih orangtua, sifat ganjaran dan efeknya bagi anak-anaknya. Mudah-mudahan hal itu menghiburnya.
Kutanyakan padanya, apakah ia pernah berdoa setiap kali merasa takut, khususnya tentang sikap ayahnya terkait nilai-nilai ulangan yang buruk? Yave bilang, tidak. Serta merta aku meyakinkan dia tentang manfaat doa. Lalu aku mengajarkan dia contoh doa singkat dan sederhana yang bisa diucapkannya setiapkali ia merasa takut, juga bagaimana cara menyampaikan pada orangtuanya tentang nilai ulangannya hari ini. Aku juga menjanjikan padanya sebuah sikap atau tindak lanjut yang bisa kuberikan untuk menanggapi persoalan KDRT yang dia alami di rumah. Mungkin aku akan bertemu dan berbicara dengan orangtuanya, dan kemungkinan-kemungkinan lain berikut alasan-alasannya. Dia mengerti serta bersedia dibantu. Selanjutnya, aku meminta Yave berjanji untuk menceritakan padaku besok disekolah, tentang apa yang akan dia alami di rumah hari ini bersama orangtuanya setelah dia menyampaikan hasil nilai ulangan harian tersebut. Yave mengangguk setuju. Akhirnya, dia sudah lebih tenang.
Hari ini, pagi sebelum menjelang jam istirahat, Yave masuk ke kantor guru meminta minyak angin karena sakit perut. Kontan aku menyambutnya, dan meminyaki perutnya yang dingin dengan minyak kayu putih. Lalu, pelan aku menanyakan bagaimana kondisinya perihal nilai ulangan kemarin. To the point saja Yave berkata dengan suaranya yang lembut dan pelan, sambil tersenyum manis bahwa Papanya tidak marah. Ouw, thanks God! Sorakku dalam hati.. :)
Sambil diminyaki, Yave bercerita, malam itu pukul 20.00 Wib saat Papa pulang kerja, dia menghampiri Papanya dengan rasa takut. Yave mengatakan kalau nilai ulangannya jelek dan minta maaf pada Papanya. Diluar dugaannya, ternyata Papa cuma menjawab, oh begitu ya, lain kali nilainya jangan jelek lagi. Itu saja. Dia lihat sikap Papa masih tenang. Bicaranya juga biasa. Lalu Papanya masuk kamar dan minta dipijat Mama karena kurang enak badan. Yave pikir, Papa sepertinya lagi sakit.
Hm.. what a grace happen that night for this lovely child, kataku dalam hati sambil tersenyum.
Aku mengajak Yave bersyukur. Bukan, bukan bersyukur Papa tidak marah karena sedang dalam kondisi tidak sehat seperti yang dipikirkan Yave kecil. Tapi aku mengajak Yave melihat hal lain dibalik situasi itu, bahwa Papa Yave mengasihi anaknya. Lalu, aku mengajak Yave berdoa, mengucap syukur diluputkan Tuhan dari hukuman gara-gara nilai yang buruk, juga karena Tuhan menunjukkan kasih-Nya melalui kebaikan hati Papa Yave malam itu. Terimakasih Tuhan.
Anw, bagaimanapun aku tetap berdoa, suatu saat harus bertemu dengan orangtua Yave. Mengajak mereka bicara dari hati ke hati tentang keadaan anak mereka berharap mereka akan mengambil alternatif dan cara lain untuk mendidik anak mereka, bukan dengan kekerasan. Amin.***
Anw, bagaimanapun aku tetap berdoa, suatu saat harus bertemu dengan orangtua Yave. Mengajak mereka bicara dari hati ke hati tentang keadaan anak mereka berharap mereka akan mengambil alternatif dan cara lain untuk mendidik anak mereka, bukan dengan kekerasan. Amin.***
Minggu, 26 Agustus 2012
Komunitas Pendidikan
Kemajuan dan perkembangan zaman di berbagai lini dewasa ini, menjadi tantangan yang sangat berat bagi masyarakat. Perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan yang sangat masif dan mengakar dalam pola pikir, sikap dan cara hidup manusia termasuk nilai-nilai yang dihayati masyarakat. Sejalan dengan itu, sendi-sendi kehidupan masyarakat dan keluarga menjadi goyah, serta kontrol sosial menjadi lemah.
Beragam dalil dan paradigma yang mumpuni dan dijunjung tinggi serta ditaati di masa lalu pun berangsur kehilangan jejaknya berganti dengan paradigma serta dalil-dalil baru yang rapuh dan semu. Agama dianggap tidak realistis, adat-istiadat menjadi produk usang yang tidak laku dan pengaruh keteladanan orangtua, sesepuh dan leluhur menjadi kabur tergantikan dengan pengaruh idola-idola para figur publik modern yang tidak teruji nilai-nilai hidupnya. Menciptakan kekacauan nilai, norma dan budaya sehingga menyeret bangsa pada kondisi anomali yang meresahkan.
Globalisasi adalah pemicu utamanya. Globalisasi membawa serta isme-isme baru seperti kapitalisme, materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang berkembang subur dan justru menciptakan penjajahan model baru yang menghancurkan martabat manusia serta memperlebar jurang kaya-miskin. Demikian halnya dengan arus urbanisasi yang menyeret kota-kota pada pertumbuhannya yang cepat dan padat sehingga menghasilkan daerah kumuh dan gelap bersama orang-orangnya yang tersingkir dan tersisihkan, sementara desa menjadi kosong dan ditinggalkan. Begitu juga dengan pola relasi komunal, bergeser menjadi sangat individualistis.
Perubahan di atas diperparah oleh peran media. Arus informasi yang super cepat akibat dukungan teknologi, selanjutnya mempermudah penyebaran pengaruh negatif tersebut. Masuk dan meresap dengan cepat ke dalam pola-pola hubungan dan relasi serta nilai-nilai masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk pendidikan. Akibatnya dalam proses belajar mengajar, suatu kegiatan tidak pernah bersifat steril dari “hama globalisasi”. Padahal, disadari atau tidak, fenomena pendidikan zaman ini menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat khususnya orangtua, malah menyerahkan peran mendidik sepenuhnya kepada lembaga sekolah.
Wajah Pendidikan Kita
Pendidikan, adalah kunci utama dari upaya penetrasi nilai-nilai moral dan ilmu pengetahuan ke dalam diri seorang individu. Pendidikan membentuk manusia menjadi makhluk sosial. Hal ini selalu dimulai dalam keluarga; bukan lembaga sekolah. Kendatipun demikian, lembaga sekolah membantu keluarga dan orangtua dengan mengambil peran sebagai mitra yang bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Faktanya, perkembangan zaman telah menciptakan keluarga-keluarga dan masyarakat yang sibuk. Cukup sibuk untuk bisa berbagi waktu dan mendidik secara khusus putra-putrinya dirumah. Lalu memilih lembaga pendidikan atau sekolah sebagai alternatif untuk mengerjakan tugas mereka, dengan memberikan uang sebagai kompensasi kepada lembaga pendidikan sebagai pengganti kerja kerasnya. Hal itu dipandang cukup. Jika tidak, maka keluarga akan menyerahkan anak-anak ke lembaga-lembaga bimbingan sampai waktu yang cukup untuk pulang ke rumah dan melakukan sisa rutinitas. Apabila hal itupun tidak memenuhi standar ‘mendidik’ anak mereka, maka teknologi menjadi jawaban: televisi, internet dan segala macam gadget mengisi waktu-waktu yang masih luang yang sebenarnya dapat bermanfaat sebagai momen tranformasi nilai yang berguna bagi anak.
Lalu, apakah yang terjadi di sekolah? Ketika siswa tiba disekolah, Guru yang efektif dan visioner akan mengajarkan mereka ilmu pengetahuan sesuai dengan sistem dan kurikulum negara sambil mendidik dengan menanamkan nilai-nilai moral, agama dan tradisi menjadi sebuah “paket pendidikan”. Namun ketika siswa kembali ke rumah dan lingkungan masyarakat, paket tersebut tidak mendapat ruang ditengah-tengah agresi nilai globalisasi tadi.
Siswa menjadi kecewa, Guru menjadi utopia dan keluarga merasa putus asa. Kemudian, masyarakat yang tertekan ini lahir menjadi masyarakat dengan tingkat stress yang tinggi. Situasi ini memperburuk keadaan generasi muda kita, sehingga mendorong mereka pada pemberontakan terhadap nilai-nilai moralitas yang telah mereka terima sebelumnya.
Keluarga dan Masyarakat adalah Komunitas Pendidikan
Lantas, bagaimana memahami pendidikan dalam situasi masyarakat yang terus berubah? Bagaimana caranya membuat nilai-nilai moral mengakar dengan jelas dalam diri generasi muda masa kini ditengah kondisi nilai lama yang sudah goyah dan ketidakjelasan nilai-nilai baru dewasa ini?
Jika kita sepakat bahwa pendidikan haruslah merupakan upaya yang terpadu dari semua unsur di masyarakat, maka pendidikan menuntut keterlibatan negara, lembaga pendidikan dan keluarga. Itu berarti, negara harus menciptakan sistem pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan pendidikan sebagai pemeran utama dalam pembentukan jiwa dan karakter generasi mudanya. Sejalan dengan itu, melahirkan lembaga-lembaga pendidikan visioner yang dapat dijangkau semua kalangan tanpa terkecuali, yang mampu bekerja sama dengan keluarga-keluarga, melakukan perannya sebagai mitra pendidikan yang efektif, kreatif dan berani.
Selalu tersedia lembaga pendidikan atau sekolahan bagi siswa dan generasi muda masa ini. Namun belum pernah ada sekolahan untuk keluarga. Padahal, kapankah pendidikan dimulai? Sejak seorang anak lahir, dipangkuan seorang Ibu, dalam dekapan orangtua. Pendidikan dimulai dalam lingkungan keluarga. Maka, keluarga harus menjadi sekolahan yang mula-mula bagi seorang individu.
Berikut kutipan pernyataan dari Herr Majesty Queen Rania Al Abdullah of Jordan, yang mengatakan: “Mendidik anak-anak kita bukan berarti mengajarkan kepada mereka sekumpulan ilmu pengetahuan semata. Lebih penting lagi, mendidik berarti mengajarkan kepada anak-anak kita sejak usia dini, kemampuan untuk siap dan mampu menghadapi tantangan dunia masa depan yang akan menjadi ajang hidup mereka nantinya. Dan ini berarti menanamkan keingintahuan dan rasa cinta belajar seumur hidup, kreativitas, keberanian mengemukakan pendapat dan berekspresi, serta penghargaan akan segala bentuk perbedaan (antar manusia).”
Jika keluarga bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai komunitas pendidikan, maka secara otomatis akan lahir juga masyarakat sebagai komunitas pendidikan. Komunitas pendidikan dapat menolong individu, bukan saja anak/siswa melainkan juga orangtua dibentuk menjadi pribadi yang utuh. Komunitas pendidikan membantu individu untuk membangun relasinya dengan diri sendiri (misalnya: mengenali kelemahan dan kemampuan diri sendiri, belajar untuk percaya diri, menghargai cita-citanya, dll), membangun relasi dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat yang inklusif serta menghargai kesetaraan atau persamaan derajat manusia (misalnya: berlaku santun kepada pembantu rumah tangga, bersikap anti kekerasan dengan sesama, dll), membangun relasi dengan alam (misalnya: belajar mendaur ulang sampah, menjaga kebersihan lingkungan, dll pengetahuan ekologis), dan membangun relasi dengan Tuhan (misalnya: menyukai kegiatan-kegiatan ibadah dan dialog lintas budaya dan agama, dll).
Keseluruhannya ini, secara sendirinya mampu membentuk sistem kontrol sosial yang alamiah untuk meng-counter perubahan yang terjadi di tengah-tengah bangsa ini. Hal-hal tersebut, tidak dapat dipenuhi hanya dibangku sekolahan/lembaga pendidikan, melainkan dimulai dari rumah atau keluarga. Untuk itu, mari bersama kita membangun komunitas pendidikan dengan menciptakan masyarakat sebagai sebuah sekolah bagi setiap individu dewasa maupun generasi muda yang sedang bertumbuh.
--Penulis adalah seorang pembelajar dan anggota KDAS/KDJ.
Selasa, 24 Juli 2012
Puisi: “Jiwa Kembara”
Bagai pesakitan aku
Keluar masuk bui cinta-Mu
Tidak mengertikah hidup?
Aku menginginkan kebebasanku,
Seperti yang ada dalam pikiranku..
(padahal, bukankah pikiran tentang kebebasan
telah menjebak aku dalam kotak sempit sebuah pemikiran?)
Pikiranku adalah Penjaraku!
Setiap kali aku menggugatNya, Sang Khalik
cuma tersenyum penuh rindu di mataNya
Melelehkan cinta di wajahNya
UjarNya:
”Wahai pongah engkau, tetapi kepunyaanku yang kusayangi..
Sesungguhnya, diluar Aku, engkau tidak dapat berbuat apa-apa.”
Lalu,
Jemari sarat kasih itu menyentuh tepat di pusat jiwa kembaraku..
Tak kupahami rasanya
Aaaaarrghhh.........nikmatnya!
Namun, aku berlari lagi..
Langganan:
Postingan (Atom)